Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Profil

Nugroho Notosusanto

Profil Nugroho Notosusanto, Berita Terbaru Terkini | Merdeka.com

Nugroho Notosusanto lahir di Rembang pada 15 Juli 1930. Nugroho adalah seorang penulis dan sastrawan. Oleh H.B. Jassin,  Nugroho Notosusanto digolongkan ke dalam kelompok sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru (periode 1950-an) . Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Ketika sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, Nugroho banyak menulis esai.

Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika masih kecil. Dia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bernapas perjuangan karena pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang dihasilkan Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya.

Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar. Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah dimuat di harian Kompas hingga akhirnya dia mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai. Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Di samping itu, Nugroho juga menghasilkan karya terjemahan.

Hasil terjemahan Nugroho, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method. Karena Nugroho cukup lama dalam kemiliteran, dia dapat membeberkan peristiwa-peristiwa militer, perang serta suka-dukanya hidup, seperti dalam cerpennya yang berjudul Jembatan, Piyama, Doa Selamat Tinggal, Latah, dan Karanggeneng. Dalam cerpen ini, Nugroho menggunakan bahasa yang padat dan banyak kata-kata kasar.

Lingkungan pendidikan kata-kata kasar agaknya memberi pengaruh pada sikap dan pandangan hidupnya, seperti sikap terhadap dunia nenek moyang yang magis religius, seperti yang dapat dilihat dalam cerpennya yang berjudul Mbah Danu, yaitu mengisahkan dukun “Mbah Danu” yang terjadi di kota kelahiran pengarang.

Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan cerita pendek yang ditulis Nugroho antara tahun 1953-1954. Judul Tiga Kota ini diambil dari latar cerita yang terjadi di tiga kota yaitu Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita. Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Penganten, dan Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001 Hilang dan Vickers Jepang. Kumpulan cerpen Tiga Kota, ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi yang dialami Nugroho.

Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan makalahnya yang berjudul Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia. Dia mengemukakan bahwa sesudah tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh dunia.

Selain sebagai seorang sastrawan, nugroho juga seorang sejarawan. Namun sayangnya, berbagai kontroversi yang mengiringi perjalanannya sebagai seorang sejarawan. Salah satu hal yang paling disorot adalah ketika Nugroho dimanfaatkan oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut versi pihak-pihak tersebut. Pada 1964 ABRI menggunakan Nugroho untuk menyusun sejarah militer menurut versi militer karena khawatir bahwa sejarah yang akan disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai kelompok kiri pada masa itu akan menulis Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer lebih suka melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis melawan pemerintah.Ketika diangkat sebagai menteri pendidikan pada 1984, Nugroho menggunakan kesempatan itu untuk menulis ulang kurikulum sejarah untuk lebih menekankan peranan historis militer.

Pada tahun ini pula Nugroho ikut menulis skenario untuk film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang memuat versi resmi Orde Baru tentang tragedi tersebut. Film ini kemudian dijadikan tontonan wajib untuk murid-murid sekolah di seluruh Indonesia, dan belakangan diputar sebagai acara rutin setiap tahun di TVRI pada malam tanggal 30 September hingga tahun 1997.

Peranan Nugroho dalam penulisan sejarah versi Orde Baru paling menonjol adalah ketika dia mengajukan versinya sendiri mengenai pencetus Pancasila. Menurut Nugroho, Pancasila dicetuskan oleh Mr. Muhammad Yamin, bukan oleh Soekarno. Soekarno hanyalah penerus. Akibatnya, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila oleh pemerintah Orde Baru.

Pada hari Senin, 3 Juni 1985 pukul 12.30 WIB Nugroho Notosusanto meninggal dunia di kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi. Dia meninggal dunia tepat pada bulan yang mulia bagi umat Islam, yaitu pada bulan Ramadlan dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh

Profil

  • Nama Lengkap

    Prof.,DR. Nugroho Notosusanto

  • Alias

    No Alias

  • Agama

    Islam

  • Tempat Lahir

    Rembang, Jawa Tengah

  • Tanggal Lahir

    1930-07-15

  • Zodiak

    Cancer

  • Warga Negara

    Indonesia

  • Istri

    Irma Sawitri Ramelan

  • Biografi

    Nugroho Notosusanto lahir di Rembang pada 15 Juli 1930. Nugroho adalah seorang penulis dan sastrawan. Oleh H.B. Jassin,  Nugroho Notosusanto digolongkan ke dalam kelompok sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru (periode 1950-an) . Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Ketika sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, Nugroho banyak menulis esai.

    Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika masih kecil. Dia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bernapas perjuangan karena pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang dihasilkan Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya.

    Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar. Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah dimuat di harian Kompas hingga akhirnya dia mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai. Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Di samping itu, Nugroho juga menghasilkan karya terjemahan.

    Hasil terjemahan Nugroho, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method. Karena Nugroho cukup lama dalam kemiliteran, dia dapat membeberkan peristiwa-peristiwa militer, perang serta suka-dukanya hidup, seperti dalam cerpennya yang berjudul Jembatan, Piyama, Doa Selamat Tinggal, Latah, dan Karanggeneng. Dalam cerpen ini, Nugroho menggunakan bahasa yang padat dan banyak kata-kata kasar.

    Lingkungan pendidikan kata-kata kasar agaknya memberi pengaruh pada sikap dan pandangan hidupnya, seperti sikap terhadap dunia nenek moyang yang magis religius, seperti yang dapat dilihat dalam cerpennya yang berjudul Mbah Danu, yaitu mengisahkan dukun “Mbah Danu” yang terjadi di kota kelahiran pengarang.

    Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan cerita pendek yang ditulis Nugroho antara tahun 1953-1954. Judul Tiga Kota ini diambil dari latar cerita yang terjadi di tiga kota yaitu Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita. Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Penganten, dan Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001 Hilang dan Vickers Jepang. Kumpulan cerpen Tiga Kota, ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi yang dialami Nugroho.

    Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan makalahnya yang berjudul Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia. Dia mengemukakan bahwa sesudah tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh dunia.

    Selain sebagai seorang sastrawan, nugroho juga seorang sejarawan. Namun sayangnya, berbagai kontroversi yang mengiringi perjalanannya sebagai seorang sejarawan. Salah satu hal yang paling disorot adalah ketika Nugroho dimanfaatkan oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut versi pihak-pihak tersebut. Pada 1964 ABRI menggunakan Nugroho untuk menyusun sejarah militer menurut versi militer karena khawatir bahwa sejarah yang akan disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai kelompok kiri pada masa itu akan menulis Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer lebih suka melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis melawan pemerintah.Ketika diangkat sebagai menteri pendidikan pada 1984, Nugroho menggunakan kesempatan itu untuk menulis ulang kurikulum sejarah untuk lebih menekankan peranan historis militer.

    Pada tahun ini pula Nugroho ikut menulis skenario untuk film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang memuat versi resmi Orde Baru tentang tragedi tersebut. Film ini kemudian dijadikan tontonan wajib untuk murid-murid sekolah di seluruh Indonesia, dan belakangan diputar sebagai acara rutin setiap tahun di TVRI pada malam tanggal 30 September hingga tahun 1997.

    Peranan Nugroho dalam penulisan sejarah versi Orde Baru paling menonjol adalah ketika dia mengajukan versinya sendiri mengenai pencetus Pancasila. Menurut Nugroho, Pancasila dicetuskan oleh Mr. Muhammad Yamin, bukan oleh Soekarno. Soekarno hanyalah penerus. Akibatnya, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila oleh pemerintah Orde Baru.

    Pada hari Senin, 3 Juni 1985 pukul 12.30 WIB Nugroho Notosusanto meninggal dunia di kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi. Dia meninggal dunia tepat pada bulan yang mulia bagi umat Islam, yaitu pada bulan Ramadlan dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

    Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh

  • Pendidikan

    • Europeese Lagere School  (1944)
    • SMP di Pati Tahun (1951) 
    • SMA di Yogyakarta 
    • Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia (1960)
    • Bidang Sejarah dan Filsafat di University of London (1962)

  • Karir

    • Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI
    • Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, Universitas Indonesia
    • Wakil Ketua Harian Badan Pembina Pahdiawan Pusat (1971-1985). 
    • Rektor Universitas Indonesia
    • Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam  Kabinet Pembangunan IV (1983)
    • Karir kemiliteran :
    • Angota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta
    • Kepala Pusat Sejarah ABRI
    • Anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan 

  • Penghargaan

    • Bintang Dharma
    • Bintang Gerilya
    • Bintang Yudha Dharma Nararya
    • Satyalancana Penegak.

Geser ke atas Berita Selanjutnya