Profil
Amartya Sen
Amartya besar di lingkungan pendidikan, ayahnya Ashutosh Sen adalah seorang guru Kimia di Dhaka University dan kakeknya Kshiti Mohan Sen seorang guru bahasa sansekerta dan budaya India di kampus Rabindranath Tagore's Visva-Bharati. Sebelum berkonsentrasi pada mata pelajaran ekonomi, Amartya Sen banyak belajar tentang sansekerta, matematika dan fisika. Keinginannya adalah menjadi guru yang tidak hanya mengutamakan teori tetapi juga mengutamakan praktik.
Tahun 1940 memberikan kenangan yang terus terekam di dalam ingatannya. Saat terjadi krmiskinan, kelaparan, kekerasan dan isu ras dan agama. Misalkan saat seorang lelaki menjadi korban kekerasan datang ke rumahnya dan harus dirawat dirumah sakit, pria dari kelompok Kader Mia tersebut menjadi korban penusukan dalam perjalanannya melewati daerah konflik untuk mencari pekerjaan menyadarkan Amartya bahwa alasan ekonomi bisa jadi pemicu dari kekacauan tersebut, kemiskinan yang membuat seseorang harus melewati daerah konflik yang berbahaya untuk mencari pendapatan di tambah lagi dengan pemikiran yang sempit membuat seseorang mudah terpengaruh politik yang memanfaatkan kelompok-kelompok militan yang tak mau menyadari keberagaman memberikan India sebuah budaya kuat hasil dari pencampuran dari keberagaman.
Pengalaman tersebut melekat dan mempengaruhi perilaku Amartya Sen saat kuliah di Presidency Collage tahun 1951 - 1953, guru-guru besar Presidency Collage menjadi inspirasi baginya seperti Bhabatosh Datta and Tapas
Maju mundur persaingan fanatik politik dan sekte menghalangi keinginan untuk mencari banyak pengalaman dan ilmu, maraknya pembicaraan isu politik saat itu tak pernah membuat Amartya Sen untuk ikut bergabung dalam dunia politik.
Pada tahun 1953, Amartya Sen pindah dari Kalkuta ke Cambridge untuk belajar di Trinity College. Meskipun aku sudah mendapat gelar B.A. dari Calcutta University (dengan program utama ekonomi dan matematika minor), Cambridge menawarkan gelar BA lain untuk program ekonomi murni yang harus diseleseikan dalam 2 tahun. Berbeda dengan di Kalkuta yang panas dengan isu ras dan politik, di Cambridge tengah panas dengan perdebatan tentang ekonomi, antara ekonomi Keynisian dengan ekonomi neo-klasik.
Karena ingatan masa kecilnya tentang kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di sekitar tempat tinggalnya menjadi dasar bagi Amartya Sen untuk mempelajari, meneliti dan mencari penyebab kelaparan serta penanggulangannya sejak pertengahan tahun 1970, dan kemudian mengembangkannya ke masalah ekonomi yang lebih luas dibawah World Institute of Development Economics Research (WIDER) in Helsinki. Kemampuan individu memenuhi keutuhannya akan pangan bergantung pada karakteristik fisik dan mental juga pada kesempatan sosial dan pengaruh bukan hanya pada penilaian dari keuntungan pribadi, tetapi juga efisiensi dan ekuitas kebijakan sosial. Pada tahun 1989 bersama dengan Mahbub ul Haq mendukung Program Pembangunan PBB (United Nation Development Program) dalam menyusun "Index Pembangunan Manusia" Penilaiannya tentang standart hidup mendapatkan perhatian dunia internasional dan menjadi sumber internasional yang paling otoritatif dalam perbandingan kesejahteraan antar negara.
Amertya Sen juga banyak menulis buku yang berisi tentang ekonomi, social dan kesejahteraan masayrakat. Karena dedikasinya dalam bidang ekonomi dan penanganan kelaparan Amertya Sen mendapatkan beberapa enghargaan antara lain - Indira Gandhi Gold Medal Award of the Asiatic Society (1994), Nobel Prize for economics (1998) Eisenhower Medal, USA (2000),
Honorary Companion of Honour, UK, Tahun 2000. Bahkan Amertya dijuluki sebagai Ibu Theresa Ekonomi memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1998, uang yang didapatkan dari penghargaan Nobel digunakannya untuk mewujudkan obsesi lamanya, termasuk literasi, perawatan kesehatan dasar dan kesetaraan gender yang khusus ditujukan pada India dan Bangladesh.
Amartya Sen mendapatkan gelar Master of Trinity College, Cambridge pada Januari 1998, dan menjadi orang Asia pertama yang memimpin sebuah perguruan tinggi Oxbridge. Sebuah record yang menakjubkan Amartya Sen penerima gelar kehormatan terbanyak (berdasarkan 53 CVnya) dan Amartya Sen selalu hadir untuk menerima serta memberikan pidato. Pada Januari 2004 Sen kembali ke Harvard, dan mengajar hingga sekarang.
Riset dan analisa oleh Eko Setiawan